HIKAYAT KEHIDUPAN

Melayu itu, kaya falsafahnya,
Melayu itu, orang yang bijaksana,
Akal budi bersulam daya

      Maka tersebutlah alkisah seorang budak yang dilahirkan di sebuah kampung di pendalaman  yang telah membesar dengan kepercayaan  dan adat budaya yang menebal, yang mana dalam segala gerak dan geri  pasti ada pantang larangnya. " Pantang Melayu Derhaka" masyarakat yang masih sederhana - kalau tidak disebut primitif-  

            Lama sebelum kelahiran agama-agama rasmi, kisah lisan menjadi wahana untuk memelihara kebijaksanaan yang berabad-abad usianya. Dalam cerita-cerita, legenda, sejarah dan perumpamaan, kebenaran tentang kehidupan menemukan aspirasinya. Cerita dan kisah memperkenalkan pendengarnya pada sebuah dunia magik dan misteri, dan kemungkinan-kemungkinan yang lain. Kisah-kisah yang mempesonakan  memberi tauladan dan menenangkan pikiran yang penat di akhir sebuah hari yang melelahkan.
      Cerita-cerita juga sudah lama menjadi medium pendidikan dan pengajaran tradisional. Koentjaraningrat dalam Beberapa Pokok Antropologi Sosial (cetakan ke-4, 1980) menyatakan bahwa pengkisahan beberapa peristiwa dari kehidupan tokoh-tokoh keramat atau dewa-dewa melalui upacara seni drama bisa menimbulkan suatu suasana keramat juga, yang seolah-olah bisa memberi kekuatan kepada orang untuk tahan kepada penderitaan yang akan datang.Cerita juga menjadi wadah hiburan setelah penat bekerja......
         Masyarakat Arab pra-Islam tidak memiliki tradisi baca-tulis, sehingga cerita-cerita (tradisi lisan) menjadi metode Nabi Muhammad untuk menyampaikan kebenaran wahyu Tuhan dengan bersandar kepada kitab-kitab sebelumnya (lihat QS Faathir [35]: 3). Penyusunan Al Qur'an menjadi kitab tertulis/tercetak justru baru terwujud lama setelah Nabi Muhammad wafat, yaitu pada masa kekhalifahan Usman ibn 'Affan.

Pengalaman Diri
     
        Suatu ketika, pada pertengahan tahun 1980an, saya telah di hantar belajar di sebuah perguruan tinggi  di kawasan pinggir selatan kota Jakarta. ( Apa yang dikenali sebagai pertukaran pelajar ( G to G) Saya menjumpai sejemput mahasiswa berkerumun di kantin fakulti. Mereka tengah membicarakan isu-isu lokal, populis dan keresahan. Kedatangan saya bukan disambut dengan kebanggaan, karena  alumni Malaysia fakulti ini cukup sukses berkarier. Nama besar antaranya Prof. Asmah Haji Umar . Sesaat, saya termenung.....

   Inikah dunia mahasiswa Indonesia era 1980an? Reaksi spontan saya,  beginilah  tahap keradikalisme mahasiswa Indonesia terhadap gaya hidup kapitalisme Indonesia, kapitalisme yang menyusahkan. Saya tersedar tentang pengaruh kapitalisme di Malaysia. Pengalaman 'mengesankan' ini memancing saya untuk mengamati lebih jauh. Bagiamana mahasiswa Malaysia...?


     Sebelum saya lanjutkan, saya ingin tegaskan, dengan segala pertimbangan latar belakang akademik saya, yakni seorang sarjana ilmu sejarah, serta bidang pekerjaan yang saya tekuni sekarang, seorang tenaga pengajar bidang sejarah ,  keintelektual saya sama sekali tidak mengalami "degradasi"! Lulusan Universitas Indonesia, Jakarta.

      Kembali saya bernostalgia masa-masa kuliah saya selama lapan semester. Perjalanan itu relatif mulus. Setiap jam kuliah, saya lahap teori-teori tanpa kejelasan aplikasi. Pemahaman dan penalaran dibangun, diperkuat sedemikian rupa. Semuanya tanpa didasari visi: mau diapakan ajaran-ajaran ini?

      Mahasiswa. Sebuah predikat mulia pada zaman Inggeris dan selepas tamat perang Dunia Kedua  hingga akhir 1970an. Apalagi mahasiswa yang terjun tujuh puluh lima persen dalam organisasi-organisasi pergerakan, dan dua puluh lima persen sisa waktunya diluangkan untuk duduk di bangku kuliah. "Gerakan mahasiswa perlu tapak," demikian diteriakkan corong-corong gerakan mahasiswa saat saya masih 'makan' di bangku sekolah. Kalau tidak disokong "partner" di piramid politik nasional, mau tak mau mahasiswa mesti berpijak pada kemampuan intelektualnya. Dan itu hanya terjadi jika mahasiswa bersangkutan mau bela-belain duduk berjam-jam di perpustakaan atau dengan seksama mendengarkan penjelasan pensyarahnya.

      Saya bukan aktivis gerakan mahasiswa, meskipun begitu saya  juga trlibat dengan perbahasan  bertema sosial, frustrasi, dan radikalisme dari mulut rakan-rakan sesama mahasiswa. Bagaimanapun, sosok-sosok naif seperti saya ini terkadang terkungkung kodrat duniawi, bahwasanya mahasiswa adalah mediator kekuatan rakyat; fenomena yang terus berkesinambungan di Indonesia sejak zaman Perjuangan -- bahkan rapat Dr. Soetomo pun dianggap gerakan mahasiswa.Tapi di negaraku terkunci rapat selepas   'akta universiti 1971 '

       Gerakan mahasiswa bukanlah dampak dari kevakuman. Letupan emosional mahasiswa justru relevan dengan ketidakstabilan sosial-politik, ketidakpuasan dan frustrasi rakyat. Selama ketidakpuasan dan frustrasi hanya terbatas pada para mahasiswa, maka stabilitas keadaan tidak terancam bahaya. Ancaman jestru terletak pada kemampuan mahasiswa menemukan partner-partner di lapisan menengah dan atas dari piramida politik nasional.

       Itulah salah satu teori yang keluar dari mulut salah seorang pensyarah saya.
      Saya belajar ilmu sejarah di universiti, bukan pendidikan. Baik kuliah yang saya terima secara formal maupun pendidikan nonformal di bawah rendangnya pepohonan taman kampus bersama para aktivis gerakan tak satu pun menanamkan skill pada saya untuk menekuni bidang pekerjaan saya sekarang ini -- yang konon merupakan lahan nyari duit-nya sarjana pendidikan. Satu-satunya yang secara tidak langsung mendukung adalah bahwasanya orang yang belajar ilmu sejarah harus mengerti bagaimana menulis yang baik dan benar. Sejarah bukan cuma sepenggal masa lampau yang berhenti pada penelitian serta kefahaman sang sejarawan. Sejarah mesti pula disampaikan, dikomunikasikan, tidak saja di hadapan sidang penguji skripsi, namun juga disuarakan pada khalayak luas.

         Saya memahami kehairanan pelajar saya -- yang cenderung menutupinya dengan sikap antipati -- mengapa saya, seorang sarjana sastra bidang sejarah, lantas melangkahkan kaki ke dunia kerja yang sungguh bertentangan dengan ilmu yang saya pelajari selama enam tahun di perguruan tinggi. Begitu pula, saya memahami 'keterbatasan nalar' sumber daya manusia tetapi sya puas keran bidang yang ajari jusa adalah berkait rapat dengan sejarah, walaupun kebenaran sejarah tidak terungkap dalam ini....
        

        Lagi-lagi, ini sebuah pengalaman pribadi. Bergelumbang dengan anak murid yang berbilang bangsa, di Miri, Sarawak, dapat dilihat sikap mereka terhadap pelajaran, dan peranan kapitalisme yang begitu hebat di sini telah mempengaruhi sikap mereka terhadap pelajaran. Dunia pelajaran dinegara ini berorentasikan peperiksaan telah melahirkan insan-insan yang berlumba-lumba untuk mencapai kerjaya....walau bagaimana carapun, yang penting lulus peperiksaan.

     Pertama, saya kuliah untuk memperluas wawasan saya. Klise memang. Kedua, sudahkah sistem pendidikan tinggi kita demikian sempurna, sehingga mampu mempersiapkan mahasiswanya untuk melangkahkan kaki ke bidang pekerjaan yang sesuai minatnya? Paling tidak, apakah visi dunia kerja sudah ditanamkan sejak dini pada mahasiswa?

Yang saya amati selama saya 'bernasib baik' menjadi mahasiswa di era akhir 1980an adalah bahwa mahasiswa kita kurang diperlakukan sebagai orang per orang, melainkan lebih sebagai satu kesatuan. Kalau, misalnya, enam puluh persen mahasiswa dalam satu angkatan memperoleh predikat memuaskan, semata-mata karena mereka mampu menyelesaikan minimal dua puluh satuan kredit semester (SKS) -- eh, masih adake sistem  SKS? -- yang bersifat wajib fakulti (MKDU, mata kuliah dasar umum) atau mata kuliah keahlian (MKK) dalam satu semester, maka sisa empat puluh persen yang sebetulnya punya kemampuan pribadi -- tetapi kebanyakan berstatus mata kuliah pilihan -- dipaksa menjajarkan diri dengan persentase yang tersebut pertama.

Tepat hingga batas akhir lapan belas semester saya kuliah di almamater saya, sebuah PTN yang tidak dibebani segala yuran , cicilan gedung dan ujian negara. Saya tersangkut di benang kebijakan SKS selama empat tahun masa perkuliahan saya. Saya hanya punya satu senjata rahsia, yakni kemampuan pribadi yang sanggup membentuk kepribadian ilmiah sekaligus mematok visi saya terhadap dunia kerja, yang bakal saya jalani begitu saya melangkahkan kaki keluar gerbang universiti, menenteng ijazah sarjana dan transkrip nilai, yang entah menjadi perhatian sang  yang merekrut saya atau tidak.

        Saya seorang sarjana ilmu sejarah, tetapi bukan sejarawan. Teknik menulis yang saya peroleh di jurusan sejarah bukan demi mengonstruksi historiografi yang bakal memperkaya khazanah sejarah. Pekerjaan saya adalah  untuk mengkomunikasikan pesan-pesan produk yang tersedia dan layanan kepada calon konsumen iaitu pelajar. Ya, saya seorang copywriter, yang berbekal ilmu sejarah semata-mata demi memperluas wawasan saya.

Tulisan ini tidak punya kesimpulan. Dan tidak dimaksudkan untuk menuding siapa pun. Semata-mata hanya untuk mereka yang tengah seksama mengikuti perkuliahan dan mereka yang bergelut antara kuliah dan romantika gerakan mahasiswa untuk tidak cuma mencekoki diri dengan idealisme paham-paham dan idealisme intelektualitas tanpa aplikasi. Saya akan bangga, kalau di antara junior-unior saya atau anak didik saya yang pernah 'mengesankan' saya dapat menekuni pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya. Bagi mereka yang 'keluar jalur', saya tegaskan lagi, bahwa itu bukan gejala degradasi intelektual. Malah sebaliknya, itu menunjukkan Anda siap mengantisipasi perkembangan zaman berbekal ilmu yang Anda miliki.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

P2 bab 3

BEPANG DAN SEJARAH KULINARI

PULAU DUYUNG ADALAH LIDAH NEGERI TERENGGANU